Helm militer yang digunakan saat ini masih memberikan akses bagi daya
ledakan untuk melakukan penetrasi melalui wajah. Menambahkan kaca helm
pada helm standar militer, bisa membantu melindungi tentara dari cedera
otak.
Penelitian baru yang memodelkan bagaimana gelombang kejut (shock wave)
melewati kepala menemukan bahwa penambahan pelindung wajah bisa
membelokkan porsi substansial ledakan yang jika tanpa pelindung tersebut
akan dengan mulus menjangkau otak.
Studi ini merupakan bagian dari sejumlah besar penelitian baru untuk
menghentikan cedera otak traumatis. Diperkirakan 1,5 juta orang Amerika
menderita cedera otak traumatis ringan setiap tahun, dan hampir 200.000
anggota tentara terdiagnosa menderita cedera tersebut sejak tahun 2000,
menurut Armed Forces Health Surveillance Center di Silver Spring,
Maryland. Walaupun tubrukan langsung seperti membenturkan kepala
jelas-jelas dapat mencederai otak, daya yang berlangsung ketika bahan
peledak mengirimkan gelombang kejut melalui kepala lebih sulit untuk
dikarakterisasikan.
Dalam studi tersebut, para peneliti yang dipimpin oleh Raúl Radovitzky dari MIT’s Institute for Soldier Nanotechnologies menciptakan model komputer terperinci kepala manusia termasuk lapisan lemak dan kulit, tengkorak, serta berbagai jenis jaringan otak.
Tim tersebut memodelkan gelombang kejut dari sebuah ledakan yang
diledakkan tepat di depan wajah dalam tiga kondisi: dengan kepala
telanjang, dilindungi oleh helm yang sekarang digunakan dalam
pertempuran, dan dilindungi oleh helm tersebut dengan tambahan pelindung
wajah polikarbonat.
Hasilnya menunjukkan bahwa helm yang digunakan saat ini oleh pihak
militer tidak memperburuk kerusakan seperti yang ditunjukkan oleh
beberapa penelitian sebelumnya. Akan tetapi setidaknya dalam hal
perlindungan dari ledakan, helm tersebut juga tidak banyak membantu.
Penambahan pelindung wajah akan memperbaiki beberapa masalah, menurut
laporan tim tersebut.
"Pelindung wajah banyak perperan dalam membelokkan daya dari gelombang
ledakan dan tidak membiarkannya secara langsung menyentuh jaringan
lunak," kata Radovitzky. "Kami tidak mengatakan bahwa ini merupakan
desain terbaik bagi pelindung wajah, tapi kami mengatakan kita perlu
melindungi wajah."
Untuk memvalidasi model tersebut, para peneliti di MIT dan di mana pun
juga harus melakukan eksperimen di dunia nyata. Akan tetapi karya
tersebut menunjukkan kelemahan utama pada helm yang digunakan saat ini.
"Helm ini tidak didesain untuk menghentikan tekanan gelombang dan tidak
didesain untuk menghentikan peluru," tutur Albert King yang merupakan
direktur Bioengineering Center di Wayne State University Detroit. "Seperti halnya helm American football tidak didesain untuk menghentikan geger otak tapi untuk menghentikan fraktur atau keretakan tengkorak."
Mendesain helm yang tahan ledakan membutuhkan pengetahuan lebih baik
tentang apa yang terjadi dalam otak ketika disapu oleh ledakan. Para
tentara yang mengalami ledakan acapkali menggambarkan angin atau
gelombang yang membuat mereka melihat bintang-bintang. "Saya pusing,"
merupakan laporan yang biasa didengar.
Cedera otak traumatis "ringan" yang diakibatkan, tidak menyebabkan
kehilangan kesadaran jangka panjang, dan pemindaian otak memperlihatkan
hasil normal. Akan tetapi melabelkan cedera ini sebagai cedera ringan
merupakan istilah yang tidak cocok, kata Douglas Smith yang merupakan
direktur Center for Brain Injury and Repair di Universitas Pennsylvania di Philadelphia. "Bukan ringan, terminologi itu membuat orang tersesat," tutur Smith.
"Hal tersebut merupakan sesuatu yang serius yang bisa menyebabkan
disfungsi berat."
Smith beserta para koleganya mengerjakan sensor yang bisa ditempatkan
dalam helm atau kendaraan dan seperti alat pendeteksi radiasi yang
dipakai oleh para pekerja di pabrik nuklir akan mengindikasikan eksposur
terhadap daya ledakan yang dapat menyebabkan cedera otak. Sensor
tersebut digambarkan dalam sebuah makalah yang akan diterbitkan di NeuroImage.
Walaupun sebuah sensor mengindikasikan eksposur terhadap daya ledakan,
masih belum jelas bagaimana tepatnya daya tersebut menyebabkan trauma
otak. Dalam kondisi sehari-hari, otak secara gampang dapat menahan
sedikit tubrukan. "Jatuhkan diri anda ke kursi maka otak anda akan
bergoyang seperti gel agar-agar," ujar Smith. Namun dalam kecepatan yang
sangat tinggi, sel-sel otak bukannya melonggar tapi bisa retak dan
pecah seperti kaca.
Efek jangka panjang dari sel-sel otak yang rusak ini sebagian besar
tidak diketahui. Di samping sakit kepala kronis, pusing dan kesulitan
mengingat kata-kata, penelitian menunjukkan bahwa ketika otak lumpuh
walau hanya beberapa menit, cenderung menimbulkan depresi.
Scott Matthews yang merupakan seorang psikiater di Universitas
California, San Diego, yang mempelajari cedera otak traumatis ringan
pada para veteran, memperhatikan bahwa kausalitas tidak dapat
dipastikan. Akan tetapi pada para tentara yang pernah terlibat dalam
pertempuran, dia melihat depresi dua kali sesering pada orang-orang
dengan cedera otak traumatis. "Ada bukti yang kian banyak bahwa kehilangan kesadaran bisa mengubah otak," kata Matthews.
Membongkar penyebab serta efek dan mendesain eksperimen untuk
menjelaskan cedera otak traumatis serta akibat buruknya tetap sangat
menantang. Lagi pula menerjemahkan temuan-temuan signifikan tersebut ke
dalam kebijakan yang berarti bisa sama sulitnya. Bahkan
mengimplementasikan sesuatu yang sesederhana helm dengan pelindung wajah
memiliki permasalahan, kata Smith.
"Bagaimana anda menyebarkan sesuatu yang seperti itu?" katanya. "Ada
hal-hal praktis seperti masalah temperatur dan kemudian ada keinginan
para tentara bisa bertemu dan bersalam-salaman di pedesaan tanpa
terlihat seperti orang luar angkasa." Penelitian tersebut dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Science
Tidak ada komentar:
Posting Komentar