Rabu, 05 Desember 2012

About A Girl

I need an easy friend  
I do with an ear to lend  
I do think you fit this shoe  
I do but you have a clue
 
I'll take advantage while  
You hang me out to dry  
But, I can't see you every night  
Free
 
I'm standing in your line 
I do hope you have the time  
I do pick a number to  
I do keep a date with you
 
I'll take advantage while  
You hang me out to dry  
But, I can't see you every night  
Free
 
I need an easy friend  
I do with an ear to lend 
I do think you fit this shoe 
I do but you have a clue
 
I'll take advantage while  
You hang me out to dry  
But, I can't see you every night  
No, I can't see you every night 
Free
 
I do  
I do 
I do 
I do

Perjudian dan Lokalisasi

Dalam beberapa hari belakangan ini permasalahan perjudian sedang marak di perbincangkan baik di kalangan elit politik maupun kalangan ulama. Dari kalangan elit politik mencuat wacana tentang dibangunnya sebuah lokalisasi perjudian. Bahkan ide itu muncul dari Gubernur DKI Sutiyoso dan disetujui oleh Bupati Kepulauan Seribu dgn menyiapkan 36 pulau utk dipilih mana yg paling cocok. Lokalisasi perjudian pernah dilakukan pada jaman Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI. 

Dari perjudian ini mengalirlah dana pajak yg digunakan utk membangun Jakarta. Kemudian munculah kontroversi dan polemik sehingga akhirnya lokalisasi judi itu ditutup. Dengan demikian gema kontroversi lokalisasi perjudian ini adl pengulangan permasalahan yg pelik di masa lalu. Dan sekarang kembali diungkit-ungkit. Perjudian sebagai penyakit kronis masyarakat sejak jaman baheula sudah mendarah daging di kalangan sebagian masyarakat. 

Perjudian sebagaimana juga pelacuran adalah penyakit masarakat yg sulit utk diberantas tuntas baik itu perjudian kelas teri di jalan-jalan dan perkampungan apalagi perjudian kelas elit di hotel-hotel berbintang apabila tidak ada kemauan dan kebijakan pemerintah apalagi terdengar kabar bahwa munculnya wacana lokalisasi itu terkait dgn pertemuan konglomerat Tomy Winata dgn RI 1 yg menyetujui pulau seribu sebagai tempat lokalisasi. Maraknya perjudian itu krn ketidakmampuan dan ketidaktegasan pemerintah dan aparat keamanan. Mereka justru terlibat dalam lingkaran perjudian itu terutama menjadi centeng atau beking bagi keamanan kegiatan perjudian. 

Munculah pertanyaan daripada main judi kucing-kucingan kenapa tidak dilegalkan? Pemerintah agaknya malu-malu kucing walaupun gelagatnya menyetujuinya mengingat sumbangan pajaknya yg begitu besar. Akan tetapi dgn adanya undang-udang antiperjudian UU no7 tahun 1974 dan juga Keppres tahun 1975 tidak memungkinkan dibangunnya lokasi perjudian. Kalaupun DPRD akan mencari celah dgn membuat peraturan daerah secara logika tidak dapat diterima krn peraturan itu dibawah peraturan yg lbh tinggi yg telah jelas memutuskannya. Lokalisasi perjudian tidak menjamin bahwa judi hanya terlokalisasi di wilayah tersebut. 

Kita telah melihat contoh yg nyata yaitu masalah pelacuran. Dalam kasus pelacuran misalnya ketika dulu di Jakarta di bangun lokalisasi Kramat Tunggak ternyata pelacuran tidak cuma di area lokalisasi bahkan kian merambah ke mana-mana. Adapun teori yg dimunculkan oleh sebagian intelektual yg menyetujui lokalisasi adl teori pepesan kosong . Seharusnya ia malu mendukung teori perusakan moral bangsa krn dampak dari perjudian tersebut lbh besar daripada incom yg mungkin masuk dalam kas negara. 

Pembenahan moral bangsa yg sudah semakin terpuruk ini jangan lagi ditambah dgn cost yg harus dibayar krn bertambah luasnya dekadensi moral. Dengan membangun dari dana hasil perjudian berarti kita membangun bangsa ini dgn uang haram dan uang haram yg digunakan utk membangun tidak akan membawa berkah bagi masyarakat bahkan menjadi laknat. Bangsa yg terpuruk sekarang ini tidak mungkin bangkit dgn dana pembangunan yg asal-usulnya adl haram. 

Yang terjadi justru sebaliknya azab Allah sebagai peringatan yg akan datang. Judi dilihat dari sudut pandang apa pun adl judi. Judi menurut Islam adl haram. Dengan diadakannya lokasi khusus utk judi muncul anggapan bahwa perjudian ‘dihalalkan’ pemerintah. Padahal lokalisasi tidak menyurutkan orang utk berjudi bahkan justru perjudian itu menjadi semakin marak. Kenapa mencari-cari alasan utk melegalkannya? Sebagai negara yg berpenduduk muslim terbesar di dunia semestinya kita malu mempunyai ide utk melegalkan perjudian apalagi utk melegalkannya. 

Kalaupun sekarang bertebaran perjudian ilegal masalah itulah yg harus diatasi bukan malah menjadikan ketidakmampuan itu sebagai alat utk melegalkan perjudian. Seharusnya kita mencari solusi utk mengupayakan perubahan masyarakat ke arah yg lbh baik lewat education pendidikan moral aparat dgn suri tauladan dari para pimpinannya baru kemudian penegakan hukum tanpa pandang bulu. Dengan adanya lokalisasi perjudian justru akan menambah masalah bukan menyelesaikan masalah.

Remaja dan Seks Bebas

JAKARTA - Meningkatnya budaya seks bebas di kalangan pelajar mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Bahkan perilaku seks pra nikah tersebut dari tahun ke tahun meningkat.

     Pendataan yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Masri Muadz, menunjukan kasus tersebut menunjukkan peningkatan yang semakin miris bagi kita.


     Menurut penuturan Masri kepada
okezone, belum lama ini, Wimpie Pangkahila pada tahun 1996 melakukan penelitian terhadap remaja SMA di Bali. Dia mengambil sampling 633. Kesemuanya memiliki pengalaman berhubungan seks pra nikah, dengan persentase perempuan 18% dan 27% laki-laki. Sedangkan penelitian Situmorang tahun 2001 mencatat, laki-laki dan perempuan di Medan mengatakan sudah melakukan hubungan seks dengan komposisi, 9% perempuan dan 27% laki-laki.

     Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun 2002-2003, remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia 14-19 tahun, perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24 tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%.
SKRRI pun melanjutkan analisanya pada tahun 2003 dengan memetakan beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pra nikah.

     Menurut SKRRI, faktornya yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual antara lain: Pertama, pengaruh teman sebaya atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan seks para nikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pra nikah.


     Di tahun 2005 Yayasan DKT Indonesia melakukan penelitian yang sama. DKT memfokuskan penelitiannya di empat kota besar antara lain: Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Medan.


     Berdasarkan norma yang dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah. Namun, kenyataannya yang terjadi di lapangan, pertama, 82% remaja punya teman yang melakukan seks pra nikah. Kedua, 66% remaja punya teman yang hamil sebelum menikah. Ketiga, remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra nikah.
Persentase tersebut menunjukkan angka yang fantastis. Jabodetabek 51%, Bandung 54% Surabaya 47% dan Medan 52%.

     Tahun 2006, PKBI menyebutkan, pertama, kisaran umur pertama kali yakni 13-18 tahun melakukan hubungan seks. Kedua, 60% tidak menggunakan alat atau obat kontrasepsi. Ketiga, 85% dilakukan di rumah sendiri.


     Sementara merujuk pada data Terry Hull dkk (1993) dan Utomo dkk (2001), PKBI menyebutkan, 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per tahun dan 27% atau kurang lebih 700 ribu remaja dan sebagian besar dengan tidak aman. Selain itu 30-35% aborsi penyumbang kematian ibu.


     Pada 2007 SKRRI melakukan penelitian kembali. Penelitian tersebut menunjukkan peningkatatan yang drastis. Pertama, perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja. Kedua, jumlah kelompok remaja Indonesia yang menginginkan pelayanan Keluarga Berencana (KB) diberikan kepada mereka. Ketiga, meningkat jauh dari SKRRI 2002.
Keempat, jumlah remaja 15-24 tahun sekira 42 juta jiwa, berarti sekira 37 juta jiwa remaja membutuhkan alokon tidak terpenuhi (unmet need berKB kelompok remaja). Kelima, kelompok ini akan tetap menjadi unmet need. Sebab dalam undang-undang No 10 tahun 1992, pelayanan KB hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri, sesuai dengan pemilihannya.

     Bahkan, temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK-PUSBIH) di tahun 2008 lebih mengagetkan lagi. LSCK-PUSBIH melakukan penelitian terhadap 1.660 mahasiswi di Yogyakarta.
Hasil yang mereka dapatkan, 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang kegadisannya dan 98 orang mengaku pernah melakukan aborsi.

     Penelitian Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di 33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan. Dan yang terakhir, 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.


     Dari sekian lembaga penelitian di atas, menurut Masri, semua elemen harus ikut telibat memberi andil mencari solusi meminimalisir perilaku seks pra nikah. “Budaya ini diam-diam mengancam bangsa Indonesia. Tentu ini membutuhkan penanganan khusus demi mengembalikan budaya timur,” tuturnya.

Sumber: news.okezone.com

Memutus Rantai Tawuran Pelajar

          Tawuran menunjukkan lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini. Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan karakter yang nyaman dan aman (caring community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi!

  • Tanggung Jawab Minim
 Tradisi tawuran di SMA yang sudah terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung jawab pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya. Memang, di sisi lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada sore hari, sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.

 Mengapa terjadi terus-menerus? Berkelanjutannya aksi tawuran ini karena para pemimpin sekolah kurang memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak bisa pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah, maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam membentuk karakter siswa.

  Pendekatan ritual, yang menekankan pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih, tidak akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan adalah pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya membangun sikap damai dan menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang yang bisa dirusak setiap saat.

  • Kultur Sekolah Lemah
  Selain unsur kepemimpinan, pendidikan karakter yang efektif akan terjadi ketika setiap individu dalam lembaga pendidikan merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu, prestasi akademis siswa akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu dihantui rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau pulang sekolah.

 Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila setiap individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa dihargai, dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan dan pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas, karena mereka dikatrol sehingga nilainya juga baik.

 Kultur sekolah ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap individu. Individu telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui sistem katrol. Dengan demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu baik dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.

 Menghargai individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan sebentuk praktik keadilan. Praksis keadilan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan semakin termotivasi dalam meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas akademis berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri palsu di luar, termasuk tawuran.

  • Ketidakhadiran Negara
  Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas bahwa negara tidak hadir, bahkan cenderung membiarkan dan mengafirmasi kekeliruan pemahaman bahwa bila suatu tindak kejahatan dilakukan bersama-sama, maka hal ini dapat dibenarkan.

 Ketika aparat kepolisian hanya diam saja berhadapan dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian menelanjangi diri dan menunjukkan bahwa negara absen.

 Pendidikan karakter yang efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta komunitas, seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan. Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat untuk menaati ketertiban dan hukum.

 Untuk mengatasi persoalan tawuran dan menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.

 Pertama, kehadiran negara sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif. Untuk mengatasi tawuran pelajar, ketegasan aparat sangat diperlukan karena kebiasaan tawuran itu membahayakan diri dan orang lain. Kepolisian harus bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan budaya tertib hukum dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap pelajar yang terlibat tawuran, memang dibutuhkan, tetapi sikap preventif-edukatif melalui kerja sama dengan pihak sekolah lebih penting karena akan mengatasi persoalan pada akarnya.

 Kedua, sikap tegas pemerintah. Pemerintah juga perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan sekolah, baik itu di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang sekolahnya selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka terbukti tidak efektif.

 Namun, pemerintah juga perlu hati-hati mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai usaha memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.

  • Peran Komunitas Sekolah
 Ketiga, pendidikan karakter akan efektif kalau seluruh komunitas sekolah merasa dilibatkan. Ini berarti, mulai dari penjaga keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah, guru, karyawan nonpendidikan, staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus mengerti tugas dan tanggung jawab mereka, terutama yang terkait dengan pengembangan kultur cinta damai dalam lembaga pendidikan.

 Perilaku kekerasan terhadap fisik orang lain merupakan bentuk nyata tidak dihargainya individu sebagai pribadi yang bernilai dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa setiap individu itu berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.

  Siapa pun tidak pernah boleh memanipulasi dan mempergunakan bahkan merusak tubuh orang lain dengan alasan apa pun. Tawuran pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan terhadap tubuh di lingkungan pendidikan kita masih lemah. Padahal, penghargaan terhadap tubuh ini merupakan salah satu pilar keutamaan bagi pengembangan pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh.